Takdir Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Assalamualaikum wr wb ^_^
Source: Al-Madad Ya Rasulallah
Bismillahirrohmanirohim Ash-sholatu wasalamu 'alaika wa 'ala
aalika yaa sayyidii yaa rosuulalloh 'allimnii wa robbinii....
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar
menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir
untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali
sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan,
jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk
melakukan amal buruk.”
Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya
kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia
takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia
berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak
menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia
kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan
kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak
mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir
tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik.
Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT
adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di
muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya,
adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini
terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat
bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau
menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba
datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat
ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik
kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim
pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku
telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa
amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari
dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam
Al-Qur’an,
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal
dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang
menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang
Allah SWT penciptanya.”
YAA SYAAFI'AL-KHOLQI HABIIBALLOOHI " SHOLAATUHUU'ALAIKA MA'SALAAMIHII,DHOLLAT WA DHOLLAT HIILATII FII BALDATII " KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATII .......
Duhai Kanjeng Nabi penberi Syafa’at makhluq, duhai Kanjeng
Nabi Kekasih Alloh ¨ Kepangkuan-MU sholawat dan salam Alloh aku sanjungkan ¨
jalanku buntu, usahaku tak menentu buat kesejahteraan negriku ¨ cepat, cepat,
cepat raihlah tanganku Yaa Sayyidii tolonglah diriku dan seluruh ummat ini
Silahkan dibagikan semoga bermanfaat :)
Source: Al-Madad Ya Rasulallah